Monday, December 12, 2011

Eksistensi Desa Adat Bali


Keberadaan dari desa adat di Bali seperti halnya dengan masyarakat hukum adat di tempat-tempat lainnya, adalah merupakan satu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri lagi. Desa Adat lahir sejalan dengan kepentingan orang-orang untuk secara bersama-sama mengikatkan dirinya kedalam satu ikatan kelompok yang bersifat teritorial guna memudahkan tercapainya berbagai kebutuhan hidup mereka baik yang bersifat lahirlah maupun batiniah.

Selain desa adat itu terbentuk atas dasar kepentingan warganya, tampaknya keberadaan desa adat itupun tidak dapat dilepaskan dari 'struktur organisasi yang lebih tinggi yang ada dari dulu hingga sekarang. Hal ini terlihat juga untuk masyarakat hukum adat lainnya seperti yang diungkapkan oleh Hazairin yaitu bahwa:

"masyarakat-masyarakat hukum adat itu dari dulu sampai sekarang menjadi landasan bagi mendiri-kan kerajaan-kerajaan asli, kekuasaan kolonial dan juga bagi negara Republik Indonesia. Kekuasaan kerajaan-kerajaan boleh lenyap, kokuasaan kolonial boleh tumbang demikian juga Negara Republik Indonesia dapat terhapus, tetapi masyarakat-masyarakat hukum adat itu akan terus menerus melanjutkan hidupnya. Jelaslah bahwa masyarakat-masyarakat hukum adat itu lebih berurat berakar di atas pangkuan ibu pertiwi ". (Hazairin, 1970 : 45).

Dapatlah dikatakan bahwa keberadaan dari masyarakat hukum adat, termasuk desa adat di Bali, adalah bersifat kodrati sejalan dengan kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang selalu ingin hidup bersama dalam satu kelompok yang terorganisasikan secara baik, dan disesuaikan dengan tingkat perkembangannya.

Dilihat dari kenyataan seperti itu maka eksistensi desa adat sudah tidak diragukan lagi. Namun dilihat secara yuridis (dari segi hukum yang berlaku) masih sering dijumpai peristiwa-peristiwa yang tampaknya meragukan keberadaan desa adat tersebut atau setidak-tidaknya memandang desa adat itu sebagai kelompok orang-orang tanpa kewenangan apa-apa. Keadaan seperti ini sudah tentu kurang proporsional dalam menempatkan desa adat baik dalam kerangka hukum adat maupun hukum nasional.

Dari segi hukum adat eksistensi dari desa adat, seperti juga dengan persekutuan hukum adat lainnya, merupakan satu hukum adat itu justru ada dan dilaksanakan dalam lingkup desa adat (persekutuan hukum). Van Vollenhoven sejak tahun 1910 telah mengungkapkan bahwa untuk mengetahui hukum (adat) maka terutama sekali perlu diselidiki waktu ,daerah manapun juga, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, di mana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari. Apabila hukum adat hingga sekarang masih terus hidup meskipun berpuluh-puluh tahun mendapat rintangan dan ancaman berbagai rupa dan apabila hukum adat itu maju menuju kepada kehidupan sendiri, maka segala sesuatu itu disebabkan karena kekuatan mempertahankan serta kekuatan hidup dari badan-badan persekutuan hukum Indonesia sendiri (R. Soepomo, 1967: 43). Jadi jelaslah bahwa persekutuan hukum adat dan juga desa adat di Bali justru merupakan wadah berlangsungnya hukum adat, sehingga apabila hukum adat tersebut tidak dapat diabaikan. Dengan perkataan lain, hukum adat tidak mungkin ada tanpa persekutuan hukum adat. Demikian juga dengan hukum adat di Bali tidak mungkin hidup tanpa Desa Adat.

Persoalan yang sering timbul adalah mengenai eksistensi desa adat dilihat dari kerangka hukum nasional. Sering ada kesan bahwa desa adat itu sudah tidak berfungsi lagi dengan terbentuknya negara Indonesia. Pandangan seperti ini sudah tidak melihat lagi desa adat sebagai lembaga otonom dan lebih menekankan kepada arti kehidupan desa dari segi administrasi saja, yang dalam kenyataan sudah dilaksanakan oleh desa dinas. Pandangan seperti ini adalah keliru, oleh karena apabila ditelusuri secara cermat, seperti sudah disinggung pula dalam uraian di depan, maka dalam negara Indonesia telah ada ketentuan hukum yang memberikan pengakuan kepada desa adat dan juga persekutuan hukum adat lainnya. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan UUD 1945 pasal 18 dan penjelasannya, dan juga dari ketentuan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, baik dalam pasal 1 sub a maupun dalam penjelasan umumnya. Jika dilihat dari tujuan utama dikeluarkannya UU No.5 tahun 1979, dan juga dilihat dari ketentuan pasal 1 sub a dan penjelasan umumnya maka dapat dikatakan bahwa istilah Desa yang digunakan dalam undang-undang tersebut adalah merupakan penamaan bagi masyarakat-masyarakat hukum adat yang hingga dewasa ini masih hidup ( Sorjono Soekanto dan Soleman B Taneko, 1981 : 131 ).

Bagi daerah-daerah lain barangkali kehadiran undang-undang tentang pemerintahan desa ini tidak menimbulkan masalah selain berkenaan dengan istilah desa yang digunakan secara umum walaupun semula hanya sebagai istilah lokal untuk Jawa dan Bali. Akan tetapi bagi daerah Bali, ketentuan undang-undang itu membawa permasalahan oleh karena dari sejak masa Hindia Belanda telah dijumpai pembedaan antara Desa dalam pengertian administrasi dan desa dalam pengertian adat (lihat Hunger, 1932).

Dengan kondisi seperti itu maka tampaknya kehadiran undang-undang pemerintahan desa ini mengarah kepada eksistensi desa dalam pengertian administrasi, sehingga eksistensi desa adat tampaknya kurang mendapat perhatian, Namun walau demikian, dengan memperhatikan penjelasan umum dari undang-undang itu dan ju­ga dengan keluarnya Perda Daerah Tingkat 1 Bali No.6 tahun 1986, maka eksistensi desa adat tidaklah diragukan lagi. Sudah tentu pula masih diperlukan upaya-upaya yang berkelanjutan untuk lebih memantapkan ek­sistensi dari desa adat ini baik berkaitan dengan tata organisasi, tata hukumnya dan aspek-aspek lain yang mendukung. Selain itu mekanisme hubungan antara kelembagaan adat dan dinas / pemerintahan perlu di ta­ta dengan baik sehingga akan kelihatan pola pembagian tugas yang proporsional dan terjalin pula kerjasama yang harmonis dan positif di antara keduanya


Baca juga link terkait bahasan ini :

Desa Adat Bali

Peranan Desa Adat di Bali

No comments:

Post a Comment

“Harturyati na gocaram kimapi sam pusnati yatservad, hyarthibhyah prati padyamanamanisam prapnoti Vrddhimparam, kalpantesvapi na prayati nidhanam vidhyakhy – amantardhanam, yesam tanprati manamujjnata nrpah kastai saha spardhate”

Pengetahuan adalah kekayaan yang tidak bisa dicuri oleh siapapun, semakin banyak diberikan akan semakin berkembang, dengan memiliki pengetahuan akan hadir kedamaian dalam diri manusia
(Niti Sataka – sloka 12)