Friday, December 24, 2010

prosedur pengembangan tapak berdasarkan kelayakan daya dukung prasarana jalan




dalam melakukan perencanaan pengembangan kawasan, biasanya kita hanya mengacu pada aturan intensitas bangunan dan lahan atau yang kita kenal dengan KDB (koefisien dasar bangunan) dan KLB (koefisien lantai bangunan). tapi apakah kita sudah melakukan analisa terhadap dampak dari rencana sebuah proyek terhadap traffic sekitar nya. permasalahan yang sangat pelik yang dihadapi kota-kota di Indonesia adalah kemacetan. sudah selayaknya kita sebagai perencana (planner) dan perancang (designer) memperhatikan hal tersebut.

disini saya akan berbagi pengetahuan yang saya peroleh selama kuliah dalam menentukan layak tidak nya sebuah proyek untuk dikembangkan berdasarkan analisis daya dukung jalan (traffic). sebelum saya menjelaskan dalam sebuah studi kasus, ada baiknya gambar/image yang saya unggah di atas di perhatikan secara seksama terlebih dahulu. tabel dan rumusan perhitungan terdapat dalam image tersebut.

disini saya akan memberikan sedikit contoh pengerjaan perhitungan kelayakan traffic berdasarkan tabel dan cara diatas. untuk itu saya akan mengambil kasus sebuah jalan di kota Bandung. kita sebut saja JALAN A.
yang perlu dilakukan terlebih dahulu iyalah, melalukan pengamatan / survey lapangan langsung terhadap kondisi eksisting jalan tersebut. hal utama yang harus dilakukan dalam pengamatan adalah:
  1. membuat potongan jalan, hal ini sangat penting karena akan menjelaskan hampir menyeluruh mengenai nilai dari jalan tersebut.
  2. traffic counting, hal ini merupakan kegiatan dimana kita akan melakukan penghitungan terhadap jumlah kendaraan yang melalui jalan tersebut selama 1 jam. waktu yang di pilih adalah pada saat peak hour, baik di hari biasa dan libur
perhatikan image/gambar dibawah ini, telah saya sajikan contoh tabel dan potongan jalan dalam rangka melakukan perhitungan traffic.berdasarkan tabel diatas dapat diperhatikan bahwa kepadatan traffic tertinggi pada jalan A tersebut terjadi pada jam 06.30 - 07.30 pada hari biasa/hari kerja. dengan volume lalulintas sebesar 2988,55 smp/jam. kecepatan rata-rata kendaraan 50 km/jam.
sehingga didapatkan nilai LOS (level of service) jalan sebesar:
Volume (V) = 2988,55 smp/jam
Capacity (C) = 5574,36 smp/jam
V/C = (2988,55 / 5574,36) = 0,536

berdasarkan hasil perhitungan V/C jalan diatas, dan kecepatan kendaraan rata-rata, tingkat pelayanan jalan tersebut berada pada level A, yaitu arus bebas, volume rendah, dan kecepatan kendaraan tinggi. hal ini berarti pada jalan tersebut masih dimungkinkan peningkatan intensitas maupun penambahan fungsi-fungsi baru tanpa melebihi skenario daya dukung jalan dengan LOS minimum C, dengan kecepatan kendaraan rata-rata >32 km/jam, adalah sebesar:
Capacity (C) = 5574,36 smp/jam
V/C = 0,8
Volume = (V/C) x C = (0,8 x 5574,36 smp/jam) = 4459,5 smp/jam (volume batas)

mengacu pada skenario tersebut, maka penambahan intensitas dan fungsi bangunan baru pada jalan ini tidak boleh memberikan dampak negatif terhadap volume lalulintas. penambahan volume lalulintas maksimal yang masih diijinkan utuk ditambahkan lagi adalah sebesar:
=volume batas - volume saat ini
= 4459,5 smp/jam - 2988,55 smp/jam
= 1470,95 smp/jam

dalam setiap pengembangan/ project tentu saja akan membangkinkan volume kendatangan kendaraan. hal ini dapat ditinjau dari penyediaan lapangan parkir. selanjutnya dari besarnya bangkitan kendaraan yang dimunculkan (bisa di prediksi dari jumlah kebutuhan parkir) tersebut kita akan dapat tentukan apakah bangkitannya melebihi nilai yang diperboleh kan...


semoga pengetahuan ini dapat berguna bagi kita semua...
sumber analisa: urban planning and research group, ITB

Thursday, December 23, 2010

Urban Warehouse, Tanah Abang



ini merupakan hasil studio rancang kota 3 ITB, dengan tema: "urban warehouse".
analisis dalam tgs ini lebih lengkap dan terpadu.
-kebijakan
-stakeholder
-daya dukung jalan (traffic)
-tipologi bangunan
-finansial.

karya ini saya unggah dalam bentuk panel semoga bermanfaat dan menginspirasi

tim:
Chairul Maulidi, elfan kedmon, Fahmi Alhaqqi, Rifky Ujianto, Hendra Santika.

Friday, December 10, 2010

Kesepian

seorang murid bertanya kepada guru / BABA (Swami Muktananda), saya ingin tahun bagaimana mengatasi perasaan kesepian yang menghantui pikiran?

BABA menjawab dengan memberi sebuah cerita

suatu kali raja pergi berziarah dengan dua orang sahabatnya. dalam perjalan beberapa perampok mengejar mereka. sahabat-sahabat raja menjadi khawatir dan raja pun bertanya, "apakah kalian takut"

"ya, jawab mereka, beberapa perampok mengejar kita".

raja kembali berkata, "sadarkah kalian siapa yang berada di belakang kita yang setara dengan beberapa pun jumlah perampok?"

karena kamu berpaling dariNya, maka kamu merasa kesepian. jadi sekarang gapailah Dia maka akan ada dua orang bersama kalian; Tuhan dan dirimu sendiri. perasaan kesepian akan hilang ketika kuasa Tuhan berada di mana-mana, mengapa seseorang harus merasa kesepian?

Sunday, December 5, 2010

Pengendalian Pembangunan Pada Konservasi Kota Singaraja, (pendahuluan)

ini merupakan bagian pendahuluan dari karya tulis saya, bagian abstrak telah terlebih dahulu saya unggah di blog ini. semoga bermanfaat bagi yg memerlukan.

Singaraja adalah ibu kota kabupaten Buleleng, yang terletak di bagian utara pulau Bali. Kawasan kota Singaraja merupakan salah satu kota tua di Bali. Rangkaian sejarah panjang yang dimiliki kota singaraja sendiri dimulai pada abad ke 17 dan abad 18 dimana Kota Singaraja merupakan pusat Kerajaan Buleleng. Selanjutnya semasa penjajahan Hindia Belanda di Bali, khususnya Bali Utara pada tahun 1846 turut memberi warna bagi perkembangan Kota Singaraja. Dimana pada jaman itu, Kota Singaraja menjadi pusat kegiatan pemerintahan Hindia Belanda di Bali. Terakhir kota singaraja sempat menjadi ibukota Kepulauan Sunda Kecil dan Ibukota Provinsi Bali sampai tahun 1958. Dengan berbagai peran penting yang dimiliki oleh kota singaraja di masa lampau terutama semasa pemerintahan Hindia Belanda, maka berbagai fasilitas pemerintahan dibangun di Kota Singaraja dengan tampilan bangunan yang khas sesuai dengan jamannya yaitu bangunan post modern yang di Indonesia dikenal dengan bangunan gaya kolonial. Singaraja ketika masa pemerintahan Hindia Belanda merupakan sebuah kota dengan fasilitas terlengkap di Bali dimana terdapat pelabuhan, terminal, pusat perdagangan dan pemerintahan belanda di Pulau Bali

Pada tahun 1811 Sir Stamford Raffles seseorang berkebangsaan Inggris mengunjungi pulau Bali dan terpesona akan keindahan alam dan budayanya. Setelah itu beliau datang lagi ke Buleleng dan bekerja sama dengan Raja Buleleng, I Gusti Gde Karang untuk membangun kota pelabuhan dengan nama Singapura. Raffles tergiur melihat ramainya pelabuhan Buleleng dengan lokasi yang dilihatnya sangat strategis diantara kepulauan Nusantara. Namun rencana ini batal karena ada perselisiahan antara Raffles dan Raja Buleleng.

Pertumbuhan kota singaraja sendiri telah mengalami perkembangan dan melebar ke segala arah sehingga kian lama fungsi kawasan yang dahulunya menjadi pusat perdagangan semakin tergeser. Dengan adanya perkembangan kota singaraja seperti ini, maka pusat perdagangan pada masa Hindia Belanda dan masa awal kemerdekaan di Kota Singaraja saat ini telah menjadi kota lama Singaraja yang perlu dijaga eksistensinya (Proposal usulan Prov. Bali th, 2007). Sejalan dengan Visi dan Misi Kota Singaraja yang berlandaskan konsep Tri Hita Karana sebagai cerminan budaya Bali yang berlandaskan agama Hindu, dengan memperhatikan keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan Tuhan, sebagai jiwa dalam pengembangan kawasan (Revisi RTRW Buleleng, 2004-2014). Pengembangan pemberdayaan potensi daerah antara lain bentang alam yang indah, sebagai perpaduan antara pemandangan gunung dan pantai dalam jarak yang relatif dekat. Dan peninggalan bangunan kolonial sebagai potensi peninggalan sejarah, merupakan potensi wisata warisan kolonial (city tour) yang patut dipertahankan dan dikembangkan

Pengembangan sebuah kawasan sebaiknya memiliki daya dukung dari kawasan sekitarnya. Visi kota dalam menjadikan kawasan pusat kotanya sebagai kawasan city tour telah didukung dengan adanya beberapa potensi dan destinasi pariwisata di sekitar kawasan pusat kota. Potensi dan destinasi pariwisata yang ada antara lain: pelabuhan buleleng, Bandara Letkol Wisnu, Pantai lovina dan Kebun Raya Bedugul. Kawasan pusat kota umumnya menjadi daerah yang selalu dilalui jika wisatawan ingin menuju ke Pantai Lovina dari arah Bedugul, hal ini dapat dijadikan daya tanggap bagi pengembangan daerah pusat kota yang sarat akan sejarah ini.

Konsumsi warisan bersejarah untuk mendapat pengalaman masa lalu mendukung revitalisasi urban (Nasser, 2003). Kegiatan pemanfaatan bangunan bersejarah ini telah dikenal secara luas terutama di negara-negara Eropa dan juga di negara-negara Asia seperti Singapura dan Thailand. Semuanya memberikan preseden positif kasus revitalisasi baik secara fisik maupun sosial. Warisan bersejarah berfungsi sebagai materi konsumsi simbolik bagi wisatawan untuk mendorong revitalisasi (Nasser, 2003). Setiap kota memiliki kawasan yang bernilai historis sebagai salah satu cikal bakal dari pusat kegiatan masyarakat. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan gencarnya pembangunan pengembangan wilayah perkotaan, kawasan itu justru sering terabaikan dan kehilangan identitasnya. Penataan dan revitalisasi kawasan ini sebagai upaya untuk memulihkan dan menghidupkan kembali fungsi-fungsi kawasan perkotaan yang pernah ada dimasa lalu agar dapat berfungsi kembali dimasa kini maupun dimasa depan (sustainable). Upaya revitalisasi dan konservasi sebuah kota bersejarah memerlukan perangkat pengendalian pembangunan (development control) yang agar kota mampu menyelaraskan antara upaya pelestarian dan pembangunan kota tersebut.

Pengendalian pembangunan berfungsi sebagai kontrol dari pelaksanaan pembangunan. Pengendalian pembangunan dapat berupa aspek legal yang berisikan peraturan-peraturan yang mengatur pembangunan itu sendiri. Untuk itu harus dipahami terlebih dahulu mengenai cakupan dari pembangunan (development) meliputi; bangunan gedung, tambang atau berbagai kegiatan pada atau diatas atau dibawah tanah, atau membuat perubahan terhadap peruntukan lahan.

Kota Singaraja yang memiliki visi dan potensi yang baik dalam bidang konservasi kota bersejarah belum memiliki perangkat pengendalian pembangunan yang lengkap. Selama ini upaya konservasi yang dilakukan hanya mengacu pada peraturan yang lebih tinggi yang bersifat umum. Dengan kata lain Singaraja belum memiliki peraturan khusus mengenai konservasi daerah-nya. Peraturan daerah (Perda) tentang perlindungan bangunan bersejarah/benda cagar budaya sampai saat ini belum ada. Sebenarnya sejak th. 2007 sudah dirintis melalui Rancangan Perda Budaya Bali, namun belum bisa dilanjutkan karena belum ada kajian akademis.

Paper ini akan menganalisis dengan melakukan studi perbandingan (comparative study) dengan beberapa kota sejenis yang memiliki tingkat konservasi yang baik, serta telah memiliki perangkat pengendalian pembangunan dalam upaya konservasi kota bersejarah (urban heritage). Kota yang diambil sebagai studi pembanding adalah Jakarta, dan Singapura. Studi yang dilakukan diharapkan mampu sebagai dasar dalam mencari perangkat pengendalian pembangunan yang dapat diterapkan (adopt) di Kota Singaraja guna mendukung upaya konservasi yang dilakukan


Wednesday, December 1, 2010

Pengendalian Pembangunan Pada Konservasi Kota Lama Singaraja Dengan Studi Perbandingan: Kota Jakarta, Singapura.


Pengendalian Pembangunan Pada Konservasi Kota Lama Singaraja

Dengan Studi Perbandingan: Jakarta, Singapura.


I Putu Hendra Santika

Program Studi Rancang Kota

Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan

Institut Teknologi Bandung

Email : hendra_arch04@yahoo.com


Abstrak

Kota Singaraja memiliki visi menjadikan daerah pusat kota lama-nya sebagai kawasan “city tour” mengingat sejarah dan banyaknya bangunan peninggalan masa kolonial di kota tersebut. Sebagai upaya memberdayakan potensi dan melestarikan bangunan bersejarah yang ada maka pemerintah daerah mengupayakan revitalisasi dengan konservasi bangunan bersejarah atau yang disebut dengan benda cagar budaya (BCB) yang ada, sebagai potensi dalam upaya mencapai visi kota. Kota singaraja dalam perkembangannya juga tidak luput dari modernisasi yang membawa pengaruh perubahan pada kota. Diperlukan aspek hukum atau peraturan yang jelas dalam pengendalian kegiatan pembangunan (perubahan) dan konservasi (pelestarian). Namun sayangnya kota Singaraja belum memiliki perangkat pengendalian pembangunan yang mengatur secara jelas dalam hal konservasi. Untuk itulah kajian ini disusun sebagai upaya memberikan studi pembanding mengenai kota lain yang telah memiliki perangkat pengendalian konservasi. Sehingga diharapkan dapat menjadi pembanding dalam rangka mewujudkan perangkat pengendalian konservasi di Singaraja. Kota yang diambil sebagai studi pembanding (comparative study) adalah: Jakarta, Singapura


Kata kunci: Pengendalian Pembangunan, Revitalisasi, Konservasi, Benda Cagar Budaya, Aspek Hukum, Peraturan.


English title: Development Control in Conservation Urban Heritage in Singaraja, compare study: Jakarta and Singapore

Tuesday, November 16, 2010

New Urbanism


sumber tulisan: American Dream “The New Urbanism” – Peter Katz.


New urbanism merupakan paham perkotaan baru yang mewakili kembalinya tradisi perencanaan (planning) dan arsitektural yang membentuk kehidupan, kenangan citra komunitas kota-kota di Amerika. Bagi planner dan arsitek yg berpaham new urbanism , menganggap tempat seperti ini memberikan inspirasi dan pelajaran praktek mengenai disain komunitas baru.

New urbanism bukanlah sesuatu yg romantic, tapi lebih mencerminkan agenda yang lbh dalam. Dalam buku ini memberikan pendekatan kepada perencana dan arsitek mengenai comunitas bangunan yang telah banyak diabaikan sebelumnya selama setengah abad: publik space seperti jalan, square, dan park yang seharusnya mendukung kehidupan keseharian; sebuah neighbourhood seharusnya mengakomodasi setiap org dan kegiatannya; dan seharusnya memungkinkan untuk kerja, menyelesaikan kegiatan keseharian dan berjalan-jalan dalam lingkungan komunitasnya tanpa mobil (jalan-jalan – sosialisasi).

The new urbanism juga mewakili babak baru dalam sejarah perencanaan kota Amerika. Sebelumnya para profesional yang reformist mengembangkan perluasan daerah urban dan sub-urban dengan tujuan untuk mengurangi kepadatan, kemacetan, dan penyakit yg melanda kota-kota industri, menciptakan pola kota yang rasional dan efisien untuk tumbuh dan menolak pola-pola kota tradisional. Sebagai hasilnya kita dapat perhatikan kota menjadi metropolitan landscape yang banyak masalah seperti kemacetan lalulintas, kualitas udara yg kurang, perumahan yg mahal, penurunan nilai sosial. Paham new ubanism muncul sebagai contra masalah tersebut yg telah menyita energi dan kreativitas perencana sampai sekarang.

Dari kota ke daerah pingiran kota (From city to sub-urban): seabad perencanaan dan disain kota amerika.

Penyebaran sub-urban kota amerika telah menjadi pengalaman pada abad terakhir yang terjadi secara luar biasa: pertama, daya tarik pertmbuhan sosial dan ekonomi menimbulkan emigrasi ke sub-urban tidak diperkirakan sebelumnya; kedua, pinggiran kota telah berkembang melampaui peran awal mereka sebagai "kamar tidur" masyarakat, sekarang mereka menawarkan tempat shoping, kerja dan berkegiatan, meyemarakan daerah pinggiran daripada pusat kota. Akhirnya penyebaran tersebut menciptakan tipologi baru perumahan, banguanan komersil dan ruang publik yang kontras dengan bentuk tradisionalnya, bentuk tersebutlah yang dimasukkan ke pusat kota.

Perluasan daerah sub-urban yang tidak diperkirakan sebelumnya hal ini sejalan dengan pekembangan kelas menengah amerika yang tidak diperkirakannya sebelumnya, keinginan untuk bangkit di kota, kondisi kelas pekerja. Dalam pemikiran dan dambaan orang kelas menengah adalah keluarga idaman yg tinggal di rumah yg dikelilingi pekarangan yg luas, jauh dari daerah industri kota. Menyediakan tempat untuk bersosialisasi, kehidupan yang privasi, dan pekerjaan rumah (household). Inti seperti gambaran kehidupan yg masyarakat midle class amerika inginkan/ impikan.

Kemampuan middle class untuk pendah ke sub-urban difasilitasi dengan adanya inovasi transportasi. Sebelum tahun 1920,an kebanyakan sub-urban tumbuh bersama-sama dengan perluasan jalur trem dan kereta api. Umumnya berupa cluster yang kompak meluas sejauh orang mampu berjalan dengan nyaman antara rumah adan pemberhentian trem, membentuk grid yg padat yang membuat pembagian tanah dan peenjualan menjadi effisien.

Setelah perang dunia I, pertumbuhan daerah sub-urban dipengaruhi oleh automobile (mobil), yang menjadi icon kehidupan sub-urban. Mobil membuka banyak lahan untuk dikembangkan, dan memacu pertumbuhan ekonomi dengan cepat.

Mobil telah membawa perubahan besar dalam elemen visual pada fasade rumah dan jalan. Dimana terjadi pelebaran jalan, parkways, dan jalur cepat. Pada rumah, garasi berada di depan rumah yang memiliki akses langsung ke jalan di depan rumah, dimana lama-kelamaan ukuran garasi menjadi 2x atau 3x lipat lbh besar (penambahan jumlah mobil) yang mendominasi fasade rumah.

Dalam tahun 1920,an terjadi pemisahan antara permukiman dengan daerah komersil dan kegiatan manufactur tapi mudah di akses dengan adanya jaringan jalur cepat.

Perkembangan pembangunan kota muncul diawali dari chicago’s 1893 world columbian exposition yang dikenal dengan ‘city beautiful’, dimana arsitektur dan publik space sebagai satu yang terpadu, effisien dalam jaringan jalan arteri untuk meningkatkan lalu lintas dalam pola grid tradisional.

Perencanaan yang paling ambisius adalah terinspirasi oleh british garden city project, dimana arsitektur dan perencanaan (planning) diinspirasi oleh kota historis eropa seperti artistic prinsiples camillo sitte.

Konsep berikutnya yang lebih berpengaruh dalam perencanaan sub-urban adalah ‘neighbourhood unit’ dari Clarence Perry’s. Dengan menciptakan sistem klasifikasi yg membuat ratusan bahkan ribuan properti yg sama. berdasarkan tujuan untuk menjaga nilai lahan, mengangkat lingkungan keluarga, dan menjaga tingkat ekonomi dan sosial. Dalam prakteknya, zoning membuat pemisahan antara fungsi komersil dan hunian, memisahkan hunian keluarga tunggal dari apartemen dengan aturan setback yg perlu lahan besar sehingga harga meningkat.

Meningkatnya volume lalu lintas, berdampak pada perubahan standarisasi yang ada agar berkendara lbh aman dan effisien tapi tetap mempertahankan karakter area permukiman. Maka munculah cul-de-sac, dan T-configured intersection (pertigaan) untuk meminimalisir masalah sirkulasi jalan. Perencana membagi kelas jalan menjadi arteri, kolektor dan lokal.

Muncul perubahan dengan adanya kesepakan baru mengenai kepemilikan rumah dan perkembangan perumahan industri. Mekanisme ini memunkinkan lebih mudahnya keluarga tunggal (single-family) mendapatkan pinjaman daripada peluang kepemilikan bangunan multi-family. Standarisasi tersebut kemudian menciptakan mass produk perumahan.

Semenjak perang dunia II, suburban mengambil peran yg penting dalam fungsi serta unik dalam pusat kota mulai mengikuti penguna dan pekerja. Fungsi rumah suburban berubah sebagai perusahaan yg menyerap tenaga kerja.

Pemisahan fungsi bedasarkan hirarki jalan. Auto friendly traffic network, efficient land-use, pemisahan komersil dan hunia. Sebagai hasil mall, dan perkantoran berada di jalur arteri yg memiliki sedikit visual atau hubungan spasial dengan lingkuangan sekitar.

“Harturyati na gocaram kimapi sam pusnati yatservad, hyarthibhyah prati padyamanamanisam prapnoti Vrddhimparam, kalpantesvapi na prayati nidhanam vidhyakhy – amantardhanam, yesam tanprati manamujjnata nrpah kastai saha spardhate”

Pengetahuan adalah kekayaan yang tidak bisa dicuri oleh siapapun, semakin banyak diberikan akan semakin berkembang, dengan memiliki pengetahuan akan hadir kedamaian dalam diri manusia
(Niti Sataka – sloka 12)