Semenjak revolusi industri 1928, Pengaruh dari mobil dan penerapan zoning kota (mono-use) telah menimbulkan banyak permasalah kota. Prinsip-prinsip perencanaan kota modern yang lahir sejak deklarasi CIAM di Athena yang dimotori oleh Le Corbusier (1929), telah banyak merubah citra kota dimana terjadi penurunan terhadap kualitas ruang publik kota. Tidaklah heran jika Jane jacobs (1965) dalam bukunya: The Death and Life of Great American Cities, mengkritik sebagian kota-kota Amerika sebagai kota yang anti sosial, dimana ruang publik kota sering terabaikan sebagai denyut nadi peradaban masyarakat urban.
Car-oriented Development telah merubah citra kota dengan dominasi jalan sebagai akomodasi kendaraan. Penataan kota dengan memisahkan dengan tegas koridor jalan untuk mobil dan pejalan kaki, bertentangan dengan konsepsi klasik ‘street as path and place’ seperti diungkap Christopher Alexander (1977). Rutinitas kemacetan di pusat kota telah mengurangi kualitas waktu (quality of time) dan hilangnya waktu-waktu produktif. Sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi yang tidak terkira serta menghasilkan social cost yang luar biasa
Pengaruh globalisasi telah memberikan tantangan yang besar pada kota. Dewasa ini lebih dari setengah populasi manusia hidup di daerah urban. Hal ini karena daerah perkotaan telah menjadi magnet pertumbuhan ekonomi yang menarik orang dari daerah desa untuk datang ke kota (urbanisasi). Kota-kota metropolitan diharapkan mampu bersaing ditengah persaingan global yang ada. Sehingga penataan kota menjadi sangat penting dimasa mendatang.
Kualitas ruang publik kota akan berdampak pada kualitas kehidupan (qualities of life). Berbagai problematika kerap yang terjadi pada ruang publik kota seperti: keterbatasan ruang publik, privatisasi ruang publik, kesenjangan sosial ekonomi. Jaime Lerner dalam bukunya: Urban Acupuncture, mengatakan bahwa sebagain besar kota-kota yang ada didunia mulai kehilangan unsur manusiawinya ketika mereka mulai mengintervensi 3 elemen fundamental ruang yg ada, yakni sungai (river), jalan (street), dan plaza (square). Kota yang baik hendaknya mampu membentuk lingkungan yang baik (better place) bagi warganya.
Menjawab berbagai persoalan yang muncul diatas, maka diperlukan penataan kota yang baik. Bagi kota-kota metropolitas dengan tingkat pupolasi yang tinggi serta kompleksitas persoalan, penataan sekala besar yang dilakukan kadang kala tidak mampu menjawab permasalah kualitas kehidupan kota. Hal ini terjadi disamping karena persoalan yang dihadapi sangat komplek serta solusi penataan kota yang dilakukan kurang dapat menyentuh lapisan bawah atau masyarakat selaku warga kotanya. Penataan yang terjadi cenderung masif dengan sedikit kontribusi pada ruang publik kota.Sehingga diperlukan sebuah penataan kota yang lebih fokus pada kualitas kehidupan kota serta dapat dirasakan langsung oleh masyarakatatau komunitas masyarakat. hal tersebutlah yang melatarbelaki munculnya urban acupuncture sebagai suatu penataan kota sekala kecil namun berdampak besar (multi effect) bagi kota serta mampu mengena langsung pada kehidupan masyarakat.
“Harturyati na gocaram kimapi sam pusnati yatservad, hyarthibhyah prati padyamanamanisam prapnoti Vrddhimparam, kalpantesvapi na prayati nidhanam vidhyakhy – amantardhanam, yesam tanprati manamujjnata nrpah kastai saha spardhate”
Pengetahuan adalah kekayaan yang tidak bisa dicuri oleh siapapun, semakin banyak diberikan akan semakin berkembang, dengan memiliki pengetahuan akan hadir kedamaian dalam diri manusia (Niti Sataka – sloka 12)
No comments:
Post a Comment