Sunday, October 24, 2010

Masa Depan Kawasan Kota Bersejarah


ini merupakah kumpulan karya tulis Mahasiswa Magister Rancang Kota ITB angkatan 2009. mengenai wajah konservasi Indonesia.

Berikut ini pendahuluan dalam buku ini yang diberikan oleh Bpk. Widjaja Martokusumo
(selaku dosen pembimbing)

Masa Depan Kawasan Kota Bersejarah.

Sebuah Catatan Kegiatan Pelestarian di Indonesia

Assoc. Prof. Widjaja Martokusumo

Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur

Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB


Bila pada masa pasca kemerdekaan, kota Jakarta dianggap sebagai barometer kegiatan pelestarian di Indonesia, kegiatan pelestarian bangunan tua/bersejarah sudah berlangsung selama empat dasawarsa, namun masih saja terdapat sejumlah pendapat yang pro dan kontra. Sebagian kecil menyakini bahwa bangunan/karya arsitektur sebagai bagian dari produk sejarah merupakan petunjuk untuk memahami kondisi budaya rancang bangun zaman kiwari. Paling tidak melalui penelusuran sejarah sejumlah peristiwa penting dapat dirunut hingga relevansinya kepada masa kini dan mendatang. Sesungguhnya, nuansa kesejarahan bisa dikatakan sarat dengan makna rekreatif/edukatif, dan pemahaman terhadap bangunan tua dan lingkungan bersejarah berkaitan langsung dengan upaya penghormatan terhadap hasil-hasil peradaban manusia. Sedangkan mereka yang memiliki pandangan berbeda akan pelestarian (konservasi) berdalih bahwa pelestarian tidak lain merupakan upaya mengabaikan kebutuhan/aktifitas baru. Selanjutnya, penolakan terhadap perubahan (melalui upaya konservasi) dianggap sebagai sebuah tindakan menghalangi upaya perbaikan/pembangunan kawasan kota. Tidak jarang, muncul pula pendapat bahwa kegiatan konservasi dianggap sebagai sebuah upaya kelompok minoritas (elit) yang dipaksakan kepada kelompok mayoritas (marginal).

Terkait dengan diskusi di atas, terdapat perbedaan pemahaman dan apresiasi masyarakat terhadap bangunan tua dan lingkungan bersejarah antara pandangan masyarakat Barat (Negara Industri) dan masyarakat dunia berkembang. Menurut Tyman (1992) persoalan pelestarian di Negara Berkembang ditandai oleh sejumlah ciri misalnya: usia artefak yang relatif muda dan umumnya karakter benda/bangunan yang layak dilindungi pun dibentuk oleh unsur-unsur budaya yang sangat beragam. Berangkat dari realitas yang ada, diskrepansi dalam struktur masyarakat di Dunia Ketiga secara tidak langsung juga turut menyebabkan sulitnya pengungkapkan apresiasi terhadap warisan budaya pada umumnya dan terhadap karya seni bangunan (arsitektur) pada khususnya. Hal ini terjadi karena realitas sosial yang mendukung nilai seni bangunan menjadi fragmen-fragmen yang tidak mudah dikaitkan satu sama lain secara arsitektural.

Dalam konteks kegiatan rancang kota (seni binakota), konservasi/pelestarian dapat dilihat sebagai salah satu upaya pengendalian proses-proses produksi spasial secara politis maupun fisikal (perencanaan spasial). Tentunya, upaya pelestarian kini tidak hanya sebatas ranah bangunan, namun juga sudah mencakup ranah lingkungan/kawasan. Perhatian terhadap aspek non fisik/bangunan dalam kegiatan pelestarian merupakan sebuah perubahan signifikan dalam diskusi pelestarian global sejak tahun 1980an. Artinya, konsep pelestarian tidak saja dibatasi oleh hal-hal yang bersifat kesejarahan belaka, namun juga mencakup isu lingkungan yang lebih luas (Martokusumo, 2010). Hal ini dapat diikuti pada perkembangan di Kota Tua Jakarta, yang dibahas secara khusus terkait dengan upaya revitalisasi dan merangsang munculnya fenomena ekonomi kreatif. Perubahan atau bisa dikatakan perluasan makna pelestarian ini sekaligus memperlihatkan bahwa substansi pelestarian bersifat dinamis dan memiliki kaitan erat dengan pengelolaan lingkungan hidup, seperti yang diungkapkan Pendlebury (2008) dalam Conservation in the Age of Concensus.

Kegiatan pembangunan yang tidak terkendali pada kawasan/tempat bersejarah dapat menjadi ancaman serius terhadap kelestarian nilai kesejarahan tempat tersebut. Vandalisme terhadap bangunan tua/bersejarah bukan sekedar karena persoalan ideologis belaka, namun lebih banyak dikarenakan motif ekonomi (global). Berkenaan dengan hal tersebut pengendalian lingkungan melalui pelestarian merupakan upaya untuk meminimalkan kerugian/kerusakan yang mungkin terjadi. Kondisi inilah yang kurang lebih terjadi di Bandung dengan bangunan di Jl. Braga no.67, di Serang dengan bangunan eks KODIM 0714 dan di Ambarawa pada bangunan eks MAKODIM 0602.

Konservasi bangunan tua dan lingkungan bersejarah diyakini tidak hanya sekedar penghormatan kepada masa lalu (sejarah), tetapi juga terkait dengan aspek pemanfaatan artefak secara cerdas. Oleh karenanya, dalam era globalisasi dan era perubahan cepat ini pelestarian dapat berperan signifikan bagi pembentukan jati diri. Selain itu, hal lain yang perlu diketengahkan di sini kegiatan pelestarian bangunan dapat memberikan kontribusi nyata dalam penciptaan ruang kota yang berkualitas.

Kumpulan tulisan ini memuat sejumlah kasus-kasus pelestarian bangunan dan lingkungan bersejarah, khususnya persoalan mekanisme pengelolaan bangundan dan lingkungan bersejarah, dari berbagai lokasi di tanah air, yakni dari Medan, Serang, Jakarta, Bandung, Ambarawa, Solo dan Surabaya. Tulisan ini merupakan hasil akhir akumulasi kegiatan belajar mengajar pada matakuliah RK5212 Konservasi Lingkungan Perkotaan, Program Magister Rancang Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB, pada semester akademik II 2009/2010. Peserta kuliah telah mempersiapkan bahan diskusi berupa makalah, dan dua makalah pada kumpulan tulisan ini telah dipresentasikan pada acara konferensi mAAN (modern Network of Asian Architecture) Youth 2-4 Agustus 2010 di Singapura, yakni tulisan dari Mohamad Fahmi Alhaqqi dan Hendra Santika.

Tulisan pertama disusun oleh Putri Pandasari Napitupulu dan tulisan membahas tentang kegiatan revitalisasi kawasan KotaTua Jakarta yang hingga kini sudah berjalan selama hampir setengah abad. Perlunya upaya revitalisasi yang lebih terintegrasi merupakan pokok pemikiran yang hendak disampaikan melalui pembahasan kasus kawasan bersejarah Kota Tua Jakarta. Selanjutnya Andi Afdal Kahar mengangkat diskusi tentang kemungkinan pemanfaatan artefak bersejarah berupa Benteng Wilhelm II dan Stasiun Kereta Api Ambarawa melalui kegiatan revitalisasi untuk dijadikan sebagai objek wisata. Chairul Maulidi melalui tulisannya tentang hilangnya bangunan bersejarah di kota Tangerang, mengidentifikasikan dua proses pemaknaan (masyarakat akademik dan awam) dalam upaya perlindungan bangunan dan kawasan bersejarah. Upaya menggabungkan kedua proses pemaknaan memerlukan sebuah mediated action, yang merujuk kepada upaya pengembangan kepedulian komunitas terhadap warisan bangunan/artefak bersejarah. Masih terkait dengan upaya perlindungan sejarah, Hendra Santika menyoroti aspek kebijakan terhadap kasus penghancuran sebuah bangunan bersejarah eks KODIM 0714, dan kontroversi visi kota Ambarawa sebagai kota pusaka di Indonesia dengan realitas kegiatan pelestarian di kota tersebut.

Sementara itu, Muhammad Iqbal menulis tentang proses penurunan kualitas ruang di kawasan Kesawan, Medan, akibat rendahnya komitmen institusi lokal terhadap upaya pelestarian. Sehubungan dengan diskusi kualitas tempat/ruang, di dalam tulisannya Mohamad Fahmi Alhaqqi mengulas proyek pedestrianisasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta pada kawasan inti Kota Tua, Jakarta. Tulisan tersebut juga membahas kaitan antara kegiatan peningkatan kualitas ruang publik dengan munculnya fenomena kegiatan ekonomi kreatif. Agam Dwi Prabowo membahas pengaruh konsep ruang pada morfologi kota Surakarta dengan analisis figure ground. Elfan Kedmon menulis tentang penelantaran dan penghancuran bangunan penjara Kalisosok di Surabaya, dan sekaligus menawarkan sebuah alternatif pemanfaatannya, sebagai upaya untuk merespons kebutuhan masa kini. Richard Hendrick menulis kasus penghancuran bangunan di Jl. Braga, Bandung terkait dengan diskusi tentang daftar bangunan yang dilindungi. Tulisan tersebut mengangkat kontradiksi yang muncul akibat keberadaan daftar bangunan heritage berkaitan dengan konservasi kawasan. Sebagai penutup, tulisan Rifky Ujianto juga mengulas tentang kondisi carut marut pengelolaan artefak/bangunan bersejarah di kota Serang. Penghancuran bangunan eks Makodim 0602 Serang mengungkapan sejumlah persoalan internal pada institusi lokal (pemerintah daerah) dalam pengelolaan bangunan bersejarah.


Dari diskusi rangkaian tulisan dalam buku ini dapat ditarik sebuah kesimpulan awal, bahwa kegiatan pelestarian/konservasi harus inklusif, artinya tidak sekedar membahas dan berkenaan dengan persoalan fisik, namun juga harus merespons persoalan sosial, ekonomi, demografi dll. Dengan kata lain, selain bahwa konservasi berkaitan dengan persoalan estetis, komunitasnya pun perlu disadarkan, digugah dan diberdayakan untuk mengenali persoalan keseharian yang relevan dengan kegiatan pelestarian, misalnya penciptaan kualitas lingkungan yang baik dan fungsional. Penanganan kegiatan pelestarian ini memerlukan perhatian serius, mengingat kehancuran bangunan tua dan lingkungan bersejarah sudah sedemikian signifikan, dan perlu menjadi perhatian bagi para pengelola kota. UU no 28 tahun 2002, sudah secara eksplisit menyatakan bahwa pemerintah lokal bertanggung jawab penuh terhadap keberadaan bangunan dan lingkungan yang dinilai memiliki signifikansi khusus. Di samping itu pendalaman terhadap substansi pelestarian pun perlu disosialisasikan, agar kegiatan pelestarian mempunyai dampak yang nyata dan tidak berkesan eksklusif. Kegiatan pelestarian harus memberikan makna kepada masyarakat, dan hanya dengan cara demikianlah bangunan dan lingkungan bersejarah di Indonesia akan memiliki masa depan.

2 comments:

  1. Bukunya di komersilkan ga? bisa di pesen dimana?

    ReplyDelete
    Replies
    1. maaf buku tersebut tdk dijual. kalo kamu berminat bisa lihat di lab. rancang kota ITB, atau mengkontak kami (para penulis)... demikian, thanks

      Delete

“Harturyati na gocaram kimapi sam pusnati yatservad, hyarthibhyah prati padyamanamanisam prapnoti Vrddhimparam, kalpantesvapi na prayati nidhanam vidhyakhy – amantardhanam, yesam tanprati manamujjnata nrpah kastai saha spardhate”

Pengetahuan adalah kekayaan yang tidak bisa dicuri oleh siapapun, semakin banyak diberikan akan semakin berkembang, dengan memiliki pengetahuan akan hadir kedamaian dalam diri manusia
(Niti Sataka – sloka 12)