Tuesday, March 27, 2012

KORIDOR JALAN YANG TERABAIKAN SEBAGAI RUANG PUBLIK KOTA

Latar Belakang.

Semenjak revolusi industri 1928, perencanan kota telah mengalami perubahan paradigma baru. Prinsip-prinsip perencanaan kota modern yang lahir sejak deklarasi kongres internasional arsitektur modern (CIAM) di Athena yang dimotori oleh Le Corbusier (1929), telah banyak merubah citra kota dimana terjadi penurunan terhadap kualitas ruang publik kota. Salah satu diktumnya adalah memisahkan dengan tegas koridor jalan untuk mobil dan pejalan kaki. Ia mengemukakan, “ Streets are obsolete notion,” “No pedestrian will ever again meet a high-speed vehicle.” Akibatnya koridor jalan hanya difokuskan sebagai ruang teknis semata dan melupakan peluangnya sebagai ruang sosial. Tidaklah heran jika Jane jacobs (1965) mengkritik sebagian kota-kota Amerika sebagai kota yang anti sosial. Bahkan Jane Jacobs menteorikan bahwa ruang publik utama kota adalah koridor jalan dan jalur-jalur pedestriannya. Kehidupan sosial yang terjadi di koridor jalan itulah yang menjadi denyut nadi peradaban masyarakat urban.

Car-oriented Development telah merubah citra kota dengan dominasi jalan sebagai akomodasi kendaraan. Penataan kota dengan memisahkan dengan tegas koridor jalan untuk mobil dan pejalan kaki, bertentangan dengan konsepsi klasik ‘street as path and place’ seperti diungkap Christopher Alexander (1977). Rutinitas kemacetan di pusat kota telah mengurangi kualitas waktu (quality of time) dan hilangnya waktu-waktu produktif. Sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi yang tidak terkira serta menghasilkan sosial cost yang luar biasa.

Di negera-negara berkembang, sering terlihat koridor-koridor jalan mengalami penurunan fungsi menjadi alur lalu lintas kendaraan bermotor semata. Hal ini sering berdampak pada terabaikannya jalur-jalur pedestrian di koridor jalan tersebut. kota yang berorientasi pada mobil, keberadaan hak manusia atas ruang kota yang sehat dan layak secara fisik, sering kali tersisihkan. Jalur pejalan kaki yang sempit, terputus-putus, gersang, panas, berdebu, dan tidak manusiawi adalah sederetan alasan mengapa jarang ada warga kota yang mau berinteraksi sosial secara sukarela.


Peran Koridor Jalan Sebagai Ruang Publik.

Pengertian ruang publik secara singkat merupakan suatu ruang yang berfungsi untuk kegiatan-kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan sosial, ekonomi, dan budaya (Darmawan, 2009). Peranan ruang publik sebagai salah satu elemen kota dapat memberikan karakter tersendiri, dan pada umumnya memiliki fungsi interaksi sosial bagi masyarakat, kegiatan ekonomi rakyat dan tempat apresiasi budaya.

Dalam penelitian arsitek Jan Gehl (1996) dari Denmark, terdapat beberapakategorisasi aktivitas masyarakat urban sebagai pengguna ruang publik kota. Pertama adalah ‘necessity activities’, di mana warga kota biasanya melakukan aktivitas di ruang publik, karena suatu keharusan. Contohnya pedagang kakilima di jalur pejalan kaki, atau keterpaksaan pengguna angkutan umum untuk berjalan kaki ke pemberhentian terdekat. Dalam konteks keterpaksaan ini, biasanya kualitas spasial dan fisik ruang terbuka ini, biasanya tidaklah terlalu dihiraukan. Berikutnya ‘optional social activities’, di mana wargakota pada dasarnya mempunyai hasrat untuk melakukan aktivitas publik atau interaksi sosial secara sukarela. Contohnya makan siang di ruang luar, window shopping, bersepeda santai, jalan-jalan sore ataupun duduk-duduk santai di ruang terbuka kota dan di jalur pejalan kaki. Untuk kategori ini biasanya aspek kualitas fisik, kenyamanan dan keamanan dari ruang publik selalu menjadi faktor dominan dalam menentukan keberhasilan aktivitas sukarela ini.

Kualitas ruang publik kota akan berdampak pada kualitas kehidupan (qualities of life). Sebagain besar kota-kota yang ada didunia mulai kehilangan unsur manusiawinya ketika mereka mulai mengintervensi 3 elemen fundamental ruang yg ada, yakni sungai (river), jalan (street), dan plaza (square). Dalam survey mengenai kualitas kehidupan yang dilakukan oleh Mercer Human Resource Consulting, menempatkan Jakarta pada peringkat 139 dari 215 negara. Salah satu indikator yang dipergunakan dalam survey tersebut adalah kualitas ruang publik kota (public space).

Apakah ruang publik terbesar dan pasti dimiliki oleh setiap kota? Jawabannya adalah Jalan. Tanpa kita sadari bahwa jalan tersebut merupakan ruang terbuka terbesar yang dimiliki oleh kota. Dalam buku ‘Great Streets’, Allan B Jacobs (1993) secara gamblang menyatakan jalan yang baik, biasanya selalu memiliki kualitas spasial istimewa dan umumnya sukses merangsang warga kota, untuk turun berinteraksi sosial dan beraktivitas urban yang sehat. Ia bahkan menyatakan jika kota berhasil menata koridor jalannya dengan baik, maka kota tersebut telah berhasil menata sepertiga kota tersebut dan sisanya akan menyusul kemudian.


Fenomena Perkembangan Koridor Jalan.

Investor atau pengembang kurang tertarik mengembangan koridor jalan sebagai ruang publik karena nilai ekonomi yang diperoleh dirasa rendah, sehingga tidak dapat diandalkan untuk pengembalian modal secara langsung. Hal ini diperparah dengan anggapan bahwa ruang-ruang publik kota tidak banyak memberikan kontribusi yang berarti sehingga muncul pengalih fungsian ruang publik kota sebagai tempat bisnis atau usaha.

Di lain pihak, ketimbang berinvestasi pada sistem transportasi publik yang massal, investasi infrastruktur kota seringkali lebih difokuskan pada investasi penambahan atau pelebaran koridor jalan baru untuk menampung beban kendaraan yang makin meningkat. Konsep yang meniru perkembangan sub-urban di Amerika ini sebenarnya sudah terbukti sering menuai masalah pelik urban di kemudian hari. Kontroversi Busway dan mahalnya investasi Subway di kota Jakarta adalah contoh dari miskonsepi tersebut. Rutinitas kemacetan di Jakarta bisa mengakibatkan hilangnya waktu-waktu produktif lebih dari 700 jam dalam setahun.

Problematika koridor jalan sebagai ruang publik kota selain adanya alih fungsi lahan dan dominasi mobil atau kendaraan, juga kerap terjadi konflik perebutan ruang. Hal ini terjadi pada pedestrian atau trotoar jalan dimana timbul konflik perebutan ruang antara pejalan kaki, kendaraan dan PKL. Dimana seperti diketahui bahwa trotoar adalah diperuntukan bagi pejalan kaki, namun kenyataannya pengambilalihan fungsi trotoar pada koridor jalan kerap terjadi. Hal ini memperparah kualitas koridor jalan yang diharapkan mampu memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki “pedestrian friendly”, namun justru ruang-ruang publik ini kerap dimonopoli sebagian kalangan.

M. Ridwan Kamil, dalam kuliah prinsip rancang kota menjelaskan bahwa fenomena hilangnya aktivitas sosial di koridor jalan di kota-kota besar Indonesia seperti halnya Jakarta, selain kurangnya perhatian terhadap desain dan kualitas ruang publik, terdapat beberapa aspek arsitektural yang sering kita temui sehari-hari yang umumnya bersifat anti urban dan dan anti sosial: (1) Garis Sempadan (setback) yang jauh, (2) Konsep ‘drop-off’ untuk segala tipologi bangunan, (3) Parkir kendaraan bermotor di halaman depan, (4) Ketidakadaan ‘urban linkage’ dan dominasi fungsi-fungsi non publik di lantai dasar, (5) Punahnya arkade sebagai elemen sirkulasi urban tropis.

Fenomena yang lain yang juga berkembang dewasa ini adalah munculnya pedestrian mall dalam sebuah pusat perbelanjaan. Para pengembang sebenarnya sudah mengetahui daya tarik yang dimiliki oleh sebuah koridor jika ditata dengan baik. maka bermunculan banyak pusat perbelanjaan yang bertemakan pedetrian mall untuk alasan profit (keuntungan). Namun tetap saja pedestrian yang diciptakan tersebut bukanlah ruang publik karena berada dalam zona privat.

Dalam menciptakan ruang publik di koridor jalan yang ramai dengan aktivitas sosial, terdapat 3 prinsip dasar yang melahirkan kondisi positif tersebut :

  1. Densitas yang optimal : Pada dasarnya koridor jalan yang penuh dengan bangunan umumnya lebih berpotensi sebagai pedestrian generatoryang akan melahirkan keaktifan sosial yang ramai dan menyenangkan.
  2. Tata Guna Lahan yang mendukung : Tata guna lahan yang berorientasi pada publik seperti halnya jasa/perdagangan umumnya sangat membantu dalam mengaktifkan kegiatan publik di koridor jalan.
  3. Koridor Jalan yang didesain dengan baik dan cermat :Koridor jalan haruslah didesain sangat spesifik mengikuti karakter sosial, ekonomi dan budaya lokal. Sudah terbukti seperti terekam dalam buku Great Streets (1993), bahwa koridor jalan yang yang dedesain dengan cermat umumnya menjadi ruang publik yang dominan dan seringkali menjadi tujuan wisata baik lokal maupun internasional.

2 comments:

  1. Terkait postingan di atas dapat juga di lihat link di bawah ini :
    http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/3132/1/PESAT%202005%20_arsitektur_006.pdf

    ReplyDelete
  2. makasi mbak lilis atas koment nya. sebenarnya tulisan ini masih ada lanjutan mengenai objek studinya. tapi blm sempat saya publish. makasi atas sharing nya

    ReplyDelete

“Harturyati na gocaram kimapi sam pusnati yatservad, hyarthibhyah prati padyamanamanisam prapnoti Vrddhimparam, kalpantesvapi na prayati nidhanam vidhyakhy – amantardhanam, yesam tanprati manamujjnata nrpah kastai saha spardhate”

Pengetahuan adalah kekayaan yang tidak bisa dicuri oleh siapapun, semakin banyak diberikan akan semakin berkembang, dengan memiliki pengetahuan akan hadir kedamaian dalam diri manusia
(Niti Sataka – sloka 12)