Sunday, December 5, 2010

Pengendalian Pembangunan Pada Konservasi Kota Singaraja, (pendahuluan)

ini merupakan bagian pendahuluan dari karya tulis saya, bagian abstrak telah terlebih dahulu saya unggah di blog ini. semoga bermanfaat bagi yg memerlukan.

Singaraja adalah ibu kota kabupaten Buleleng, yang terletak di bagian utara pulau Bali. Kawasan kota Singaraja merupakan salah satu kota tua di Bali. Rangkaian sejarah panjang yang dimiliki kota singaraja sendiri dimulai pada abad ke 17 dan abad 18 dimana Kota Singaraja merupakan pusat Kerajaan Buleleng. Selanjutnya semasa penjajahan Hindia Belanda di Bali, khususnya Bali Utara pada tahun 1846 turut memberi warna bagi perkembangan Kota Singaraja. Dimana pada jaman itu, Kota Singaraja menjadi pusat kegiatan pemerintahan Hindia Belanda di Bali. Terakhir kota singaraja sempat menjadi ibukota Kepulauan Sunda Kecil dan Ibukota Provinsi Bali sampai tahun 1958. Dengan berbagai peran penting yang dimiliki oleh kota singaraja di masa lampau terutama semasa pemerintahan Hindia Belanda, maka berbagai fasilitas pemerintahan dibangun di Kota Singaraja dengan tampilan bangunan yang khas sesuai dengan jamannya yaitu bangunan post modern yang di Indonesia dikenal dengan bangunan gaya kolonial. Singaraja ketika masa pemerintahan Hindia Belanda merupakan sebuah kota dengan fasilitas terlengkap di Bali dimana terdapat pelabuhan, terminal, pusat perdagangan dan pemerintahan belanda di Pulau Bali

Pada tahun 1811 Sir Stamford Raffles seseorang berkebangsaan Inggris mengunjungi pulau Bali dan terpesona akan keindahan alam dan budayanya. Setelah itu beliau datang lagi ke Buleleng dan bekerja sama dengan Raja Buleleng, I Gusti Gde Karang untuk membangun kota pelabuhan dengan nama Singapura. Raffles tergiur melihat ramainya pelabuhan Buleleng dengan lokasi yang dilihatnya sangat strategis diantara kepulauan Nusantara. Namun rencana ini batal karena ada perselisiahan antara Raffles dan Raja Buleleng.

Pertumbuhan kota singaraja sendiri telah mengalami perkembangan dan melebar ke segala arah sehingga kian lama fungsi kawasan yang dahulunya menjadi pusat perdagangan semakin tergeser. Dengan adanya perkembangan kota singaraja seperti ini, maka pusat perdagangan pada masa Hindia Belanda dan masa awal kemerdekaan di Kota Singaraja saat ini telah menjadi kota lama Singaraja yang perlu dijaga eksistensinya (Proposal usulan Prov. Bali th, 2007). Sejalan dengan Visi dan Misi Kota Singaraja yang berlandaskan konsep Tri Hita Karana sebagai cerminan budaya Bali yang berlandaskan agama Hindu, dengan memperhatikan keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan Tuhan, sebagai jiwa dalam pengembangan kawasan (Revisi RTRW Buleleng, 2004-2014). Pengembangan pemberdayaan potensi daerah antara lain bentang alam yang indah, sebagai perpaduan antara pemandangan gunung dan pantai dalam jarak yang relatif dekat. Dan peninggalan bangunan kolonial sebagai potensi peninggalan sejarah, merupakan potensi wisata warisan kolonial (city tour) yang patut dipertahankan dan dikembangkan

Pengembangan sebuah kawasan sebaiknya memiliki daya dukung dari kawasan sekitarnya. Visi kota dalam menjadikan kawasan pusat kotanya sebagai kawasan city tour telah didukung dengan adanya beberapa potensi dan destinasi pariwisata di sekitar kawasan pusat kota. Potensi dan destinasi pariwisata yang ada antara lain: pelabuhan buleleng, Bandara Letkol Wisnu, Pantai lovina dan Kebun Raya Bedugul. Kawasan pusat kota umumnya menjadi daerah yang selalu dilalui jika wisatawan ingin menuju ke Pantai Lovina dari arah Bedugul, hal ini dapat dijadikan daya tanggap bagi pengembangan daerah pusat kota yang sarat akan sejarah ini.

Konsumsi warisan bersejarah untuk mendapat pengalaman masa lalu mendukung revitalisasi urban (Nasser, 2003). Kegiatan pemanfaatan bangunan bersejarah ini telah dikenal secara luas terutama di negara-negara Eropa dan juga di negara-negara Asia seperti Singapura dan Thailand. Semuanya memberikan preseden positif kasus revitalisasi baik secara fisik maupun sosial. Warisan bersejarah berfungsi sebagai materi konsumsi simbolik bagi wisatawan untuk mendorong revitalisasi (Nasser, 2003). Setiap kota memiliki kawasan yang bernilai historis sebagai salah satu cikal bakal dari pusat kegiatan masyarakat. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan gencarnya pembangunan pengembangan wilayah perkotaan, kawasan itu justru sering terabaikan dan kehilangan identitasnya. Penataan dan revitalisasi kawasan ini sebagai upaya untuk memulihkan dan menghidupkan kembali fungsi-fungsi kawasan perkotaan yang pernah ada dimasa lalu agar dapat berfungsi kembali dimasa kini maupun dimasa depan (sustainable). Upaya revitalisasi dan konservasi sebuah kota bersejarah memerlukan perangkat pengendalian pembangunan (development control) yang agar kota mampu menyelaraskan antara upaya pelestarian dan pembangunan kota tersebut.

Pengendalian pembangunan berfungsi sebagai kontrol dari pelaksanaan pembangunan. Pengendalian pembangunan dapat berupa aspek legal yang berisikan peraturan-peraturan yang mengatur pembangunan itu sendiri. Untuk itu harus dipahami terlebih dahulu mengenai cakupan dari pembangunan (development) meliputi; bangunan gedung, tambang atau berbagai kegiatan pada atau diatas atau dibawah tanah, atau membuat perubahan terhadap peruntukan lahan.

Kota Singaraja yang memiliki visi dan potensi yang baik dalam bidang konservasi kota bersejarah belum memiliki perangkat pengendalian pembangunan yang lengkap. Selama ini upaya konservasi yang dilakukan hanya mengacu pada peraturan yang lebih tinggi yang bersifat umum. Dengan kata lain Singaraja belum memiliki peraturan khusus mengenai konservasi daerah-nya. Peraturan daerah (Perda) tentang perlindungan bangunan bersejarah/benda cagar budaya sampai saat ini belum ada. Sebenarnya sejak th. 2007 sudah dirintis melalui Rancangan Perda Budaya Bali, namun belum bisa dilanjutkan karena belum ada kajian akademis.

Paper ini akan menganalisis dengan melakukan studi perbandingan (comparative study) dengan beberapa kota sejenis yang memiliki tingkat konservasi yang baik, serta telah memiliki perangkat pengendalian pembangunan dalam upaya konservasi kota bersejarah (urban heritage). Kota yang diambil sebagai studi pembanding adalah Jakarta, dan Singapura. Studi yang dilakukan diharapkan mampu sebagai dasar dalam mencari perangkat pengendalian pembangunan yang dapat diterapkan (adopt) di Kota Singaraja guna mendukung upaya konservasi yang dilakukan


2 comments:

  1. Nice note.. kalo boleh tau arahan konservasinya dalam bentuk apa? preservasi? revitalisasi ? aato apa?
    dari yg anda tau,,apa pemerintah setempat punya strategi sendiri?..pengen tau buat nambah ilmu :) makasih

    ReplyDelete
    Replies
    1. peper ini sebenarnya ingin membandingkan peraturan undang-undang Indonesia terkait dgn konservasi bangunan heritage (UU no.5 th 92) dengan peraturan di kota lain. sebenarnya bukan hanya peraturan tapi juga mekanisme dan badan atau instansi yg terlibat.

      hal yg dibahas menyeluruh termasuk konservasi, preservasi, revitalisasi > yg semuanya merupakan usaha dalam menjaga / pelestarian bangunan heritage (intinya legal aspect)

      sebenarnya pemda tdk ada trobosan strategi apapun, mampu menjalankan UU secara baik saja sudah bagus.

      Delete

“Harturyati na gocaram kimapi sam pusnati yatservad, hyarthibhyah prati padyamanamanisam prapnoti Vrddhimparam, kalpantesvapi na prayati nidhanam vidhyakhy – amantardhanam, yesam tanprati manamujjnata nrpah kastai saha spardhate”

Pengetahuan adalah kekayaan yang tidak bisa dicuri oleh siapapun, semakin banyak diberikan akan semakin berkembang, dengan memiliki pengetahuan akan hadir kedamaian dalam diri manusia
(Niti Sataka – sloka 12)