Sunday, September 13, 2009

Bali, Jadi Sasaran Pengusaha Kondominium.


tulisan ini sudah pernah saya kirimkan ke sebuah koran lokal di Bali yaitu: Bali Post. ketika itu ada sebuah topik dalam debat publik dengan tema "Bali, Jadi Sasaran Pegusaha Kondominium. tulisan saya ini juga telah dicetak di media tersebut tanggal 10 juni 2009.

"Kondomunium tidak memajukan pariwisata Bali".

Data tahun 2006 lalu investor Indonesia membeli lebih dari 1.000 unit kondominium di Singapura. Sementara 10 tahun terakhir orang Indonesia mendominasi 30% penjualan kondominium di Singapura. Investor dalam negeri ini diharapkan mengalihkan pembeliannya ke dalam negeri, yakni Bali.



Bali diharapkan jadi magnet baru bagi investor karena punya daya tarik utama bagi investor perumahan seluruh dunia, yakni lingkungan iklim tropis, alam indah, budaya yang terjaga, dan merupakan tujuan wisata dunia. Apalagi dengan adanya undang-undang penanaman modal yang baru, dimana Hak Guna Bangunan (HGB) yang dulu 30 tahun kini menjadi 80 tahun. Momentum ini memberikan kepastian investasi sehingga Bali diperhitungkan menguntungkan bagi mereka.



Bali, magnet bagi investor telah semenjak dulu menarik minat para investor untuk mengeksplorasi keeksotisan Pulau Bali, dan tidak jarang menghasilkan eksploitasi yang memunculkan masalah sosial, budaya adat istiadat, ekonomi dan Tata Ruang Bali.


Gencarnya gempuran pembangunan sektor property dengan dalih pariwisata akan merusak Tata Ruang Bali. Contoh kasus yang dapat dicermati adalah maraknya hotel dan villa yang mencaplok lahan subur pertanian, pesisir pantai, daerah tepi sungai dan danau. Pembangunan yang tidak terkendali ini menimbulkan banyak alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, sehingga justru merusak alam bali itu sendiri. Terlebih lagi pembangunan kondominium dan apartemen yang membutuhkan lahan yang cukup luas, sedangkan Bali sendiri memiliki keterbatasan lahan, tentu akan memperparah Tata Ruang Bali.



Pariwisata Bali yang terkenal akan keindahan alamnya, dengan rusaknya alam berarti mengancam kelanjutan pariwisata Bali kedepannya. Pembangunan semacam ini bukanlah untuk memajukan pariwisata namun hanya untuk kepentingan individu segelintir orang.



Selain pada keindahan alam, Bali juga memiliki keunikan adat dan budaya. Sebagai contoh wisatawan banyak tertarik berkunjung ke tempat permukiman tradisional Bali, seperti: Panglipuran dan Tenganan. Mereka takjub akan arsitektur dan pola permukiman tradisional Bali. Di Negara asal, mereka bosan melihat gedung-gedung tinggi yang tidak menunjukkan keselarasan dengan alam dan manusianya sendiri. Merupakan hal yang tidak bijak jika kita mengembangkan kondominium di Bali yang dapat merusak dan mengancam arsitektur lokal.


Keuntungan yang didapat dari pembangunan kondominium ini hanya sedikit dan sesaat, berupa pemasukan daerah dari segi perijinan. Tapi tidak ada manfaat besar yang dapat dirasakan masyarakat Bali. Yang memperoleh keuntungan terbesar adalah investor, sedangkan krama Bali hanya sebagai penonton di daerah mereka sendiri. Memang cukup disesalkan bahwa sudah berdiri apartemen dan kondominium di Bali, padahal perangkat aturan mengenai apartemen dan kondominium belum ada di Bali. Praktek permainan dengan oknum pejabat semacam ini akan mempermudah para investor untuk mendapat izin. Seharusnya pejabat terkait lebih mengutamakan kepentingan masyarakat dan masa depan Bali dibandingkan dengan kepentingan para investor.



Kisruh pembahasan RTRWP yang terjadi juga dapat dimanfaatkan oleh para investor untuk dapat mengakomodasi kepentingan mereka. Usulan ketinggian bangunan 33 meter akan memuluskan dalam membangun kondominium dan apartemen karena tipe bangunan ini merupakan bangunan bertingkat tinggi. Untuk itu diharapkan para pengambil keputusan dapat dengan bijak dalam menentukan arah pembangunan Bali kedepannya.



Perencanaan Bali dengan konsep “Tri Hita Karana” pada RTRWP sebenarnya dapat dijadikan landasan yang baik untuk dapat menciptakan keselarasan antara kehidupan manusia, alam dan spiritual yang ada didalamnya. Pembangunan yang berwawasan lingkungan sangat perlu dikembangkan, untuk menjaga lingkungan Bali. Diperlukan perangkat aturan yang secara jelas dan tegas mengatur hal ini, tanpa disisipi kata-kata ambigu yang akan dapat dipelintir oleh kepentingan tertentu.



Aturan yang bagus tidak akan mampu berfungsi baik jika tidak dibarengi dengan konsistensi para pejabat pengambil keputusan. Masyarakat Bali juga sudah saatnya tidak hanya jadi penonton diam, tapi ikut mengawal pembangunan Bali kedepannya. Kerjasama yang baik dari semua elemen yang ada diharapkan mampu menjaga Bali kedepan yang akan diwariskan ke anak cucu nanti.


No comments:

Post a Comment

“Harturyati na gocaram kimapi sam pusnati yatservad, hyarthibhyah prati padyamanamanisam prapnoti Vrddhimparam, kalpantesvapi na prayati nidhanam vidhyakhy – amantardhanam, yesam tanprati manamujjnata nrpah kastai saha spardhate”

Pengetahuan adalah kekayaan yang tidak bisa dicuri oleh siapapun, semakin banyak diberikan akan semakin berkembang, dengan memiliki pengetahuan akan hadir kedamaian dalam diri manusia
(Niti Sataka – sloka 12)