desa adat ini diikat oleh aturan adat (awig-awig). wilayah dari desa adat ini belum tentu sama dengan desa dinas nya. umumnya (sebagian besar) 1 desa adat itu adalah 1 desa dinas dengan nama yg sama. tapi ada juga 1 desa adat yang wilayahnya merupakan wilayah 2 desa dinas. contohnya desa adat intaran di sanur, satu desa adat ini dibagi dalam 2 desa dinas yaitu kelurahan sanur dan desa sanur kauh. jadi batas wilayah desa adat itu tdk wajib/selalu merupakan batas dari desa dinas.
Desa Adat Bali Sebagai Masyarakat Hukum
Dalam kepustakaan hukum adat istilah masyarakat hukum atau lazim disebut dengan persekutuan hukum diartikan sebagai kelompok pergaulan hidup yang bertingkah laku sebagai satu kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin. Kelompok-kelompok ini mempunyai susunan yang tetap dan kekal dan orang-orang yang ada di dalamnya masing-masing mengalami kehidupannya sebagai hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada dari seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran kelompok itu. Kelompok manusia tersebut mempunyai pula pengurus sendiri dan mempunyai harta benda, misalnya keduniaan dan milik gaib (lihat Soepomo, 1967 : 43 – 44, juga ter Har, 1974 : 27).
Persekutuan hukum adat seperti ini di jumpai di seluruh wilayah Indonesia dengan nama yang berbeda-beda namun dengan ciri-ciri yang sama seperti misalnya Desa di Jawa, Desa Adat di Bali, Nagari di Minangkabau, Marga di Sumatera Selatan, Kurnia di Tapanuli dan lain-lain.
Pada bagian lain, masyarakat hukum diartikan pula sebagai masyarakat yang membentuk aturan hukumnya sendiri dan tunduk kepada aturan hukum yang dibuatnya itu (Kusumadi Pujosewoyo, 1961 : 46). Sejalan dengan ini maka persekutuan hukum adat sebagai satu masyarakat hukum juga memiliki aturan hukum sendiri yang ditetapkan oleh kekuasaaan yang ada padanya. Aturan hukum ini ditempatkan dalam satu tatanan lazim disebut dengan tata hukum. Jadi persekutuan hukum adat itu memiliki tatanan hukum sendiri yakni tatanan hukum adat yang berlaku di wilayah persekutuan hukum tersebut.
Hazairin mengemukakan bahwa masyarakat-masyarakat hukum adat sepeti desa di Jawa, Marga di Sumatera Selatan, Nagari di Minangkabau, Jurnis di Tapanuli dan Wanau di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup bersiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. (Hazairin, 1970: 44).
Desa adat di Bali adalah persekutuan hukum adat dengan ciri-ciri seperti dikemukakan di atas, namun selain itu dalam desa adat tersebut dijumpai pula ciri-ciri yang bersifat khusus yang tidak ditemukan dalam jenis persekutuan hukum dari daerah lainnya. Ciri khusus ini berkaitan dengan landasan filosofi Hindu yang menjiwai kehidupan masyarakat adat di Bali, yang dikenal dengan konsep Tri Hita Karana yang artinya Tiga Sebab dari Kebahagiaan. Yang dimaksud adalah Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa), alam (Bhuwana Agung) dan manusia (Bhuwana Alit). Ketiga wujud ini terjelma dalam kehidupan desa adat dalam wujud Parahyangan (sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi), Palemahan (sebagai wilayah dari desa adat) dan Pawongan (yaitu anggota dari desa adat atau yang lazim disebut krama).
Secara lebih konkrit, penjelmaan dari unsur-unsur tersebut dalam desa adat adalah berupa:
1. Kahyangan tiga sebagai tempat pemujaan kehadapan sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestrasi-Nya sebagai Tri Murti.
2. Karang Desa sebagai konkrikasi proyeksi dari adanya Bhuwana yang tunduk di bawah kekuasaan hukum teritorial Bale Agung.
3. Krama Adat sebagai suatu kesatuan hidup yang terorganisir da dalam wilayah kekuasaan hukum teritorial Bale Agung secara “ selunglung sabhayantaka” bersama-sama melaksanakan seluruh aspek kehidupan adat istiadat. (Fakultas Hukum UNUD, 1970 : 10).
Penjelmaan dari konsepsi filosofi Tri Hita Karana seperti dikemukakan di atas di dalam kenyataannya menunjukkan variasi yang beragama Unsur parahyangan, misalnya dapat dilihat variasi berupa Kahyangan Tiga seperti dikemukakan di atas dan juga berupa Kahyangan-Kahyangan Desa lainnya yang ada di desa itu sejak dulu dan mempunyai nilai historis. Ada juga desa adat yang tidak memiliki Kahyangan Tiga tetapi hanya berupa satu atau dua bangunan pemujaan saja yang memiliki fungsi untuk memuja kemahakuasaan Sang Hyang Widhi. Atas dasar kenyataan ini maka tampaknya unsur Kahyangan Tiga tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya bentuk penjelmaan dari parahyangan, Tepat sekali rumusan dari Perda No.6 tahun 1986 yang memberikan alternatif lain untuk Kahyangan Tiga yaitu dalam bentuk Kahyangan Desa yang lebih fleksibel. Demikian juga dengan unsur Karang Desa sebagai penjelmaan dari Bhuwana, tampak bervariasi sekali di lingkungan desa adat di Bali. Ada desa adat yang memiliki karang desa seperti umumnya dijumpai di desa desa yang relatif "tua", namun banyak juga desa adat yang tidak memilikinya seperti dijumpai di desa desa yang relatif "baru". Karenanya "wilayah desa" lebih tepat kiranya digunakan untuk menunjukkan perwujudan dari unsur bhuwana tersebut. Pengertian wilayah desa akan meliputi wilayah pemukiman ( tempat tinggal) dan juga tanah-tanah pertanian yang menjadi satu kesatuan pula dengan kahyangan desa. Unsur Krama Adat dalam lingkungan desa adat di Bali juga bervariasi dalam penentuan kriterianya. Ada yang mendasarkan pada penguasaan tanah baik berupa karang desa atau tanah ayahan desa, dan ada juga yang mendasarkan pada status perkawinan dari warganya. Dasar ini sekaligus juga membawa perbedaan dalam status warga sebagai krama adat sehingga ada krama desa, ada krama banjar, ada krama ngarep, ada krama ngele / penyade dan lain-lain. Namun ada satu keseragaman untuk setiap desa adat yaitu bahwa mereka itu semua merniliki tanggung jawab dalam pelaksanaan adat di wilayahnya masing-masing.
Walaupun variasi-variasi itu mewarnai desa adat di Bali, namun kesemuanya itu memberikan gambaran mengenai adanya keanekaragaman situasi dari desa-desa adat tersebut dengan satu dasar yang sama yaitu bahwa desa adat di Bali telah menampakkan dirinya sebagai satu kesatuan dalam satu tatanan kehidupan yang dilandasi oleh awig-awig dengan pola keserasian antara ketiga unsur utama dalam wujud kahyangan desa palemahan desa dan krama desa. Kesemuanya itu tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan ketentuan adat yang dijiwai oleh Agama Hindu.
Baca Juga link terkait ini :
No comments:
Post a Comment